Jumat, 25 Agustus 2023

 SAJAK

Mari kita terjemahkan sajak

sebagai pisau. Sebab sajak akan terasa bila menusuk ke

 

dalam dada. Mari kita terjemahkan sajak

sebagai orang menunggu. Sebab sajak akan gelora bila kasih

 

rindu merindu. Mari kita terjemahkan sajak

sebagai nyawa. Sebab sajak akan bermakna beriring

 

jiwa

 

Mari kita terjemahkan sajak

sebagai sajak. Sebab sajak

 

akan bermakna beruntai

 

kata. Mari kita terjemahkan sajak sebagai angin

Sebab sajak tak dapat diraba hanya bisa

 

dirasa

 

 

Tembilahan, September 2022

 

 

Sabtu, 22 Agustus 2020

IZINKAN AKU MENJELUJUR KATA

 

DATA BUKU KUMPULAN PUISI

Judul : Izinkan Aku Menjelujur Kata

Penulis : Hafney Maulana

Cetakan I : April 2020

Tebal : 90 hlm; A5

Penerbit : CV Kanaka Media

ISBN : 978-623-258-135-7

 

 

Beberapa pilihan Puisi Hafney Maulana dalam Izinkan Aku Menjelujur Kata

 

RUMAH KITA KEBANJIRAN

 

“Rumah kita kebanjiran,” katamu sambil menadah hujan yang telah menenggelamkan  keindahan mimpi-mimpi hari. Huruf-huruf yang kau gantung di pohon-pohon telah hanyut di ombak yang beriak, mungkin kini telah jadi sajak

Kau lemah direnta tubuh yang lunglai, air begitu deras menghadang hari. Ranting terhempas menghanyut sampah. Entah sembunyi ke mana dikau, hanya terpaku dalam kelu

“Rumah kita  tergenang,” katamu lagi sambil menghitung tarikan napas yang berlari mendekap tangis, seperti karnaval kematian dalam cerita purba

Rumah tempat kau singgah pun tinggal kenangan dalam hening bisu, dalam sepi rindu, dalam duka sedu sedan yang mengantarkan airmata ke pelaminan yang rebah

2018

WAKTU  YANG  MELELEH  PADA  JAM

 

-- the persistence of memory: salvador dali

 

jam di kanvas meleleh
menggeser dan menantang angin 
bagai retina embrionya yang manis
siang memburu malam. lalu siang lagi

 

aroma hujan tiba-tiba menguap
suara saksofon menyelinap di telinga tua dan
pohon-pohon tua basah bagai rambut
penuh uban

 

mesin waktu berkedip-kedip 
di pertengahan bulan september
nun jauh antara tiang penyangga berdebu 
seorang ibu menangkap takdir
kelahiranku

 

pinggir ranjang mulai berkarat
terbatuk-batuk 
menatap ke luar jendela
gerimis semakin sunyi
jam berdenting nyaring
agar tak lupa,  katamu

 

2017

 

PERJALANAN WAKTU

 

aku menyusuri setiap liku
di mihrab mengutip-ngutip waktu

 

aku masuki setiap ruang
di liang zikir membilang waktu

 

aku menyisir setiap tepi
di sisi waktu tunduk menunaikan sebuah janji

 

aku mendulang setiap rindu 
fana tubuhku, jika waktu pulang pada-Mu

 

2018

 

IMAJI TERATAI  DI KANVAS

 

-- lukisan teratai: claude monet

 

[ IMAJI TERATAI  ]

:


setangkai teratai berdenting

 

bunganya mengapung 
di telaga air mata yang tumpah

 

sunyi tersisa


hanya detak jantungku
memukul langit

 

[ DI KANVAS ]

 

Teratai sunyi
tumbuh dan jatuh bergantian

 

2017/2018

 

 

SEPENGGAL USIA YANG TERTINGGAL

 

[SEPENGGAL USIA]


"Simpan mimpimu di sini" katamu
Kenapa mesti cinta dan rindu
Membuat lupa
Seperti purba Adam dan Hawa
Mematuk sepi mengamuk sunyi
Jatuh dari pohon qoldi

 

Maka biarkanlah
Perjalanan ini membesarkan
Ikan-ikan sunyi dalam rabuku
Ketika usia tinggal sayap
Di ranjang mimpi
Sebuah rumah sunyi
"Selamat tinggal"
Di otakku

 

[YANG TERTINGGAL]


Hanya napasmu
Menggeliat menyentuh jantungku
Terkapar di jala waktu

 

2017/2019

 

 

TELAH KUSERU

 

Telah kuseru hatiku di pohon hayat
memukau segala punca batu dan debu

 

Aku tubuh yang membasuh waktu
luluh karena isak terisak
kembara purba Habil dan Qabil

 

Telah kubaca al-ma'un
cintaku tenggelam memecah gelombang
menyisir sunyi  yang fana

 

Air mata mencari sunyi sebelum air diam
di pelupuk bunga

 

Semua kembali lindap bila ayat-ayat
berdegup  memukul jantungku
begitu utuh begitu gemuruh

 

Air mata menganak pinak mencari muara
menangis pilu
mungkin bebal, mungkin bengal, mungkin kesal

 

memuji tak pandai, bersyukur tak pandai
tangan menadah tak sampai
menepis tak gapai

 

Telah kubaca al-'asr                     
menjelang senja 
bayang-bayangku menggelepar
di stasiun waktu merindu dekap
doa purba dalam makna bercinta

 

2018

INGIN SENDIRI DALAM HUJAN

 

ingin sendiri dalam hujan
mencumbu luka
tertusuk duri mawarmu

ingin sendiri dalam hujan
mencecah gigil
dingin air cintamu

ingin sendiri dalam hujan sembunyi

di cindai
pelangimu

 

2020

 

BIODATA

 

Hafney Maulana, lahir di Sungai Luar, Kab. Indragiri Hilir, Riau. Karya puisinya  telah dimuat diberbagai media massa daerah maupun nasional dan berbagai antologi antara lain:  Antologi Puisi Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Antologi Puisi Indonesia 1997 (KSI dan Angkasa Bandung, 1997), Amsal sebuah Patung (Yayasan Gunungan, Yogyakarta, 1997), Antologi Puisi Makam (pusat Pengkajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu,Universitas Riau, Pekanbaru 1999), Antologi Puisi Jazirah Luka (Unri Pres, Pekanbaru 1999), Air Mata 1824 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Resonansi Indonesia – Puisi dua bahasa Indonesia dan Mandarin (KSI, Jakarta 2000), Asia Throug Asian Eyes (CD-ROOM, Currikulum Corporation, Australia 2001), Dari Raja Ali Haji Ke Indragiri           ( Panggung Melayu, Jakarta 2008 ), Melautkan Aksara Dalam Perahu Kata (Dinas Kebudayaan Kesenian dan Pariwisata Propensi Riau, 2005), Menjaring Cakrawala (Komunikasi Puitik Dunia Maya: Penerbit Wahana Jaya Abadi, Bandung 2010), Akulah Musi (Antologi Puisi Pertemuan Penyair Nusantara. V, Palembang, 2011),  Antologi Serumpun ( Dinas Kebudayaan Kesenian dan Pariwisata Propensi Riau, 2012), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI) Jambi 2012, Antologi Puisi Dua Bahasa enam Negara “Secangkir Kopi” (The Gayo Institute  Aceh, 2013), Antologi Puisi “Serumpun” bersama penyair Brunai Darussalam, Malaysia, Indonesia, Singapura (Yayasan Panggung Melayu, 2015), Antologi Sonian Tiga Negara “Ombak Biru Semenanjung” (Kosa Kata Kita, Jakarta, 2016) The Universe Haiku Semesta (Pustaka Haikuku, 2016), 1000 Haiku Indonesia (Kosa Kata Kita, 2017), Antologi Puisi “Ayah Bangsa” (Rose Book, 2017), Antologi Puisi “Api” (Majalah Sastra Maya, 2017), Antologi Puisi Keempat “Kultur” (Sahabat Rose Book, 2018), Antologi Puisi Kebangsaan “Celoteh di Bawah Bendera” (Perkumpulan Rumah Seni Asnur, 2018), 1000 Haiku Indonesia Musim ke-4 (Kosa Kata Kita, 2018), Antologi Puisi 101 Penyair Nusantara “Marhaban Ya Ramadhan” (Perkumpulan Rumah Seni Asnur, 2018), 999 Sehimpun Puisi Penyair Riau (Sagang, 2018), Antologi Puisi Guru / Gerakan Akbar 1000 Guru Asean Menulis Puisi (Rumah Seni Asnur, 2018) dan puluhan antologi puisi lainnya.

 

Kumpulan Puisi tunggalnya terkumpul dalam:  Ijab Kabul Pengantin ( 2012), 100 Sonian “Hujan Dini Hari” ( 2016), Nikah Hari (2016), “Memetik Cahaya” (2017)

 

 

Menerima Anugerah Pemangku Seni Tradisional bidang Sastra dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, tahun 2014.

Pemenang Puisi Terbaik dalam Antologi 1000 Puisi Guru Asean, 2018.

 

Sekarang menetap di Tembilahan, Riau sebagai Pengawas Madrasah di lingkungan Kementerian Agama Kab. Indragiri Hilir, Riau.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 17 April 2020

IBADAH BURUNG





Burung-burung memalis musim,
mematuk flat sunyi

Dalam hutan  meranggas dengan air mata
membelukar tak bersungai

Daun-daun jatuh berdenting sunyi
tinggalkan waktu

Hanya  dada  berdebar karang
dalam penghambaan hamba yang menghamba

Burung: beribu sayap
menyapa tunggu dalam

Jarak yang fana 
ibadah dalam waktu tak terbaca


2019


Minggu, 12 April 2020

MENUJU SURGA






gaunmu tersangkut ranting
berkibar ke surga

berkali-kali bulan membelai
gincumu yang memekarkan mawar rindu

sejenak saja pada epitaf  batu
tanganku memainkan warna pada sudut matamu

diam karena fitrah perempuanku
jadi air atau angin, sehabis bercinta

mari membangun surga, katamu
angin yang basah membawa salju ke mataku

seekor kupu-kupu tersulam di sudut gaunmu
dekat dengan hempasan napasku


Tembilahan,  2 Januari 2019



Sabtu, 11 April 2020

TITIK NOL YANG DIAM DI LIANG SUNYI



[TITIK NOL]

di telaga matamu, teratai mengambang
mengurai gelembung putih
hingga  basah
rimbun daun-daun berpendar
seekor kupu memunguti i'tikaf rindu
pada titik nol dalam sobekan bulan
tak ada jarak yang menghentikanmu
bersilang memetik cahaya
di bingkai warna dalam wirid kamar
lalu hidup terasa hidup setelah kematian
jam berdenting memagut malam jadi puisi
saat  bertobat

[YANG DIAM]

napasmu mengabur di kaca
menyisir malam antara rinai hujan
yang diam
bulan menciummu semalam

[DI LIANG SUNYI]

cahaya bulan menggamit burung malam
membiaskan bau tanah dalam sunyi
kau berziarah dari pintu ke pintu
dan mengulas bibir dengan doa
sesunyi air mata
sesunyi rasa
sesunyi suara
hanya denting melati
di liang sunyi

Negeri Hamparan Kelapa Dunia, 2018


TOPENG SUNYI




-          Potret Diri dan Topeng-Topeng Kehidupan: Afandi

[ TOPENG ]

Topeng-topeng wajahku berlumut
tersadai di batu

Lebur dalam wajah sendiri
menjadi embun di cermin waktu



[ SUNYI ]

Dalam  sunyi
hari-hariku membangun
biografi diri

Topeng wajahku
tergolek lemah membias  zikir
shiratal mustaqim


Negeri Hamparan Kelapa Dunia, 2018




Rabu, 08 April 2020

DESA YANG HILANG



Puisi: Hafney Maulana

“Jerambah nibung yang bisu ini akan jadi saksi masa kecil kita,”  Selalu aku dengar ucapan ini disela telaah malam sepulang mengaji. Hanya ribuan kunang-kunang menerangi jalan kita yang penuh lubang

Aku terkenang mimpi-mimpi tentang istana kecil puteri duyung di sudut tanjung dengan atap daun-daun nipah,  bulan penuh warna sebagai lampunya. “Inilah rumah masa depan kita,” katamu. Tempat melahirkan anak-anak yang akan bermain kejar-kejaran dari tiang ke tiang

Alangkah mahalnya sebuah mimpi, bermusim-musim penantian tak cukup dengan harap dapat menjemput. Kita tak mampu lagi mencatat kehilangan karena kita sendiri pun hanya membisu menghitung butir-butir  kehancuran dengan tawa yang pedih. Istana yang kita impikan hancur berkecai ditelan gelombang pasang. Dan jerambah nibung itu pun tinggal tiang-tiang kedinginan

“Inilah desa kita yang tergeletak di bibir pantai,”  kukenang lagi ucapanmu. Diam-diam kususuri lagi desa  ini. Tak ada suara tangis atau mata yang terjaga menanti sanak keluarga pulang mengail atau menongkah di lumpur pantai

“Desa kita telah bisu tinggal kenangan,” suara itu melengking menusuk langit, mengulum lidah kita yang terkulai terbata-bata mengeja huruf nama desa ini. Di telingaku terdengar bisikanmu: “Aku pergi sebagai kata-kata !,”


Tembilahan, 25 Oktober 2018